Jumat, 25 Maret 2011

HAK BERKOMUNIKASI DAN MEMPEROLEH INFORMASI

Sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” Sedangkan Pasal 14 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Setiap orang juga berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”. Selain itu, berdasarkan instrumen HAM, restriksi atau pengurangan hak tersebut dibolehkan sepanjang diatur oleh hukum, dilakukan demi kepentingan dan tujuan objektif yang sah, serta dilakukan dengan produk yang sah dan bukan dengan cara sewenang-wenang. Karenanya, pencabutan hak atau pembatasan yang dilakukan untuk melanggar atau menyimpang hak untuk dicampuri urusan pribadi seseorang haruslah diatur dalam suatu aturan yang sederajat dengan jaminan hak tersebut.
Hak Mengembangkan Pribadi dan Lingkungan Sosial
Informasi yang penting bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosial adalah informasi hukum, pengetahuan, ekonomi, sosial, agama, budaya dan lain-lainnya. Salah satunya Informasi hukum sangat penting guna terpenuhinya hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Kesamaan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 misalnya, hanya mungkin terwujud jika setiap warga negara mengetahui hukum yang berlaku, demikian pula halnya dengan pemenuhan hak-hak lainnya.
Kebutuhan akan pemenuhan informasi hukum juga didasarkan pada prinsip hukum bahwa suatu aturan pada saat disahkan, langsung memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketidaktahuan hukum tidak dapat menjadi alasan pemaaf. Dengan demikian berlaku fiksi hukum bahwa setiap orang mengetahui semua aturan hukum. Fiksi hukum tersebut sesungguhnya secara tidak langsung memberikan kewajiban pemenuhan hak atas informasi hukum. Jika hak atas informasi hukum tersebut tidak terpenuhi, maka fiksi hukum tersebut akan menciptakan ketidakadilan.
Berdasarkan pada pemikiran tersebut di atas, informasi hukum harus diposisikan sebagai milik publik. Informasi hukum adalah hak konstitusional setiap warga negara. Negara, yang dalam hal ini dijalankan oleh segenap penyelenggara negara harus memenuhi hak tersebut tanpa diskriminasi.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi hukum berupa produk-produk hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur, keputusan penetapan, putusan pengadilan (vonnis), dan aturan kebijakan (beleid regel).
Pemahaman personal qualities merupakan milik dan di dalam pribadi masing-masing manusia yang perlu dipahami dan ditumbuhkembangkan. Kualitas personal ini meliputi aspek responsibility (rasa tanggung jawab yang dibina dalam kehidupan pribadi), self esteem (penghargaan atas diri sendiri namun tidak egois dan arogansi), socialibility (menjadikan suka bergaul dengan keramah-tamahan), self management (mengelola potensi diri sendiri dalam bekerja, kualitas, kesehatan dan sebagainya), Integrity/honesty (membentuk diri pribadi penuh ketulusan dan kejujuran, mengutamakan kebijaksanaan dari nurani. Sedangkan pemahaman interpersonal skill merupakan keterampilan pribadi dalam kontak sosial dengan seluruh individu. Interpersonal skil, meliputi aspek: participates as a member of the team (menjadi anggota tim yang asertif), teaches others (dapat saling memberi pembelajaran diantara anggota tim), serves client/customers (melayani pihak lain secara baik, sama pola dan mutunya), exercises leadership (bersama melatih kepemimpinan dalam tim), negotiaties (melatih dan mengimplementasikan metode negosiasi), dan work with cultural diversity (menyadari bekerja sama berbeda kepribadian dan budaya).
Pemahaman soft skill dapat merujuk pada istilah “pengertian dalam kelompok karakter/sifat (the custer of personlityl traits) “antara lain seperti pribadi yang anggun, rapi, (social graces); kepiawaian berbahasa dan berbicara (facility with language), kepribadian/Penampilan/pakaian yang sopan (personal habits); pribadi yang ramah, bersahabat (friendliness); dan pembawaan optimis pada semua masalah yang dihadapi (optimism that mark each of us to varying degrees).
Hak Mencari, Memperoleh, Memiliki, Menyimpan, Mengolah, dan Menyampaikan Informasi
Proses demokratisasi yang sedang menggelending pasca reformasi tahun 1998 seakan-akan berjalan tersendat-sendat, kebebasan berekpresi dan menyampaikan berpendapat seperti yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Sehingga menghindari perlakuan diskriminatif, informasi berpihak pada masyarakat dan tidak dicurigai memanfaaatkannya hanya untuk kepentingan pihak industri serta komersial saja.
Sebagai bagian proses demokratisasi dan menguatnya eksistensi masyarakat, kebebasan berekpresi dan berpendapat harus dijamin oleh pemerintah. Media Massa merupakan wujud dari eksistensi masyarakat yang ingin berdaya secara informasi, memediasi terjadinya resistensi dan konflik di masyarakat, mengelola informasi yang secara berimbang, setara dan berkeadilan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pengakuan hak-hak masyarakat dan hak asasi manusia harus dijamin oleh pemerintah, melalui media massa dan masyarakat akan berdaya dan terbukanya akses bagi mereka untuk memperoleh informasi. Kebebasan untuk mengemukakan pendapat adalah hak dasar yang harus dijamin oleh pemerintah, kita sering mendengar bahwa information is power tapi informasi masih dikuasai oleh kelompok elit saja, dalam kondisi seperti ini masyarakat menjadi tidak berdaya atau powerless, untuk itu pembagian informasi secara berimbang, adil dan merata yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga mayarakat menjadi berdaya secara informasi dan mampu berubah menjadi lebih baik atas kondisi-kondisi yang buruk yang disebabkan informasi yang tidak adil dan berimbang.
Oleh karena itu kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dijamin oleh negara dan sudah cukup jelas dalam konvensi internasional tentang hak-hak sipil politik bahwa masyarakat berhak atas informasi. Pasal 19 deklarasi universal hak asasi manusia menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan- keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas". Amandemen pasal 28 uud 1945 menyatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".

Referensi:
Undang Undang Dasar 1945
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran

TINJAUAN PEMERINTAHAN REPUBLIK ISLAM IRAN


A.    SISTEM PEMERINTAHAN
Sistem pemerintahan Republik Islam Iran sangat berbeda dengan sistem pemerintahan di negara berkembang lainnya atau di negara maju sekalipun. Sebab Negara Republik Islam Iran menggunakan sistem pemerintahan wilayatul faqih. Wilayatul faqih, secara etimologi kedua kata ini berasal dari bahasa arab dengan suku kata wilayah dan  faqih. Wilayah dalam bahasa Arab berarti kedaulatan, kekuasaan, perwalian dan pengawasan.[1] Dalam terminologi syiah, kata ini menjadi istilah kunci perumusan politik Islam, yang mengindikasikan kepemimpinan universal. Adapun kata faqih, bermakna “seseorang yang baik pemahamannya”. Berbeda dengan fahim, arif, atau alim dan kata serupa lainnya yang cenderung menyatakan pengalaman, ciri khas, dan selamanya tidak lepas dari sebuah kualitas. Maka faqih telah menjadi term khusus yang berkaitan dengan ilmu yurisprudensi Islam yaitu fiqh. Artinya, seorang faqih adalah seorang yang ahli dalam ilmu fiqh, mirip dengan hakim yang berarti seorang yang ahli hukum dan tabib yang berarti ahli dalam pengobatan.
Penggunaan kata faqih dalam kajian ini tidaklah sembarang pengetahuan yang diperoleh seseorang atau ahli pada umumnya, tetapi tertuju pada kelompok ahli yang khusus yang mengambil spesialisasi dalam ilmu fiqh. Jadi faqih menurut Ali Mishkini (1991:24), merupakan seorang mujtahid yang berhak mengeluarkan hukum Islam dan mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan peraturan-peraturan Islam yang sah dari sumber-sumber yang asli.
Berangkat dari penjabaran secara etimologi di atas, wilayatul faqih secara sederhana berarti sebuah sistem pemerintahan yang kepemimpinannya di bawah kekuasaan seorang faqih yang adil dan berkompeten dalam urusan agama dan dunia atas seluruh kaum muslimin di “Negeri Islam” yang bersumber dari kekuasaan dan kedaulatan absolut Allah atas umat manusia dan alam semesta.
Implementasi sistem pemerintahan wilayatul faqih, pemimpin tertingginya disebut dengan rahbar dan wali al-amr. Konsepsi wilayah faqih merupakan kelanjutan dari doktrin kenabian dan imamah – yang mana secara periodik dalam sejarah syiah, kepemimpinan universal berdasarkan mandat ilahi terbagi pada empat periode, yaitu periode nabi, periode imam, periode kegaiban sughro (gaib kecil), dan periode kegaiban kubro (gaib besar/sempurna).
Masyarakat Islam Iran penganut syiah meyakini bahwa selama imam ke-12 mengalami gaib kubra (kegaiban panjang), hingga ia muncul (zuhur) kembali pada akhir zaman, maka para ulama (faqih) dinobatkan menjadi penerus rangkaian kepemimpinan umat ini sebagai wakil imam (naib al-imam). Meskipun begitu, sebagaimana para imam mengambil alih seluruh peran kepemimpinan umat dari Nabi Saw, maka para faqih juga memiliki hak dan peran yang sama dalam hal ini. Tepatnya, mereka mewakili pelaksanaan peran ini dari imam, yakni imam terakhir (Muhammad al-Mahdi) yang sedang gaib. Bahkan dipercayai bahwa para ulama seperti ini mendapatkan bimbingan imam yang sedang gaib tersebut. Hanya bedanya, jika para imam mendapatkan kedudukannya dari Allah, sehingga dengan demikian maksum (terpelihara dari kesalahan atau suci), para ulama (faqih) ini memperoleh kedudukannya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya. Mereka tidak seperti Nabi Saw dan imam, mereka tidaklah maksum. Bentuk formalnya, di Republik Islam Iran, faqih yang berkedudukan sebagai wali faqih dipilih oleh suatu Dewan Ahli yang beranggotakan para ulama terkemuka, yang memperoleh jabatannya itu lewat pemilu demokratis.
Gagasan tentang wilayatul faqih bukanlah hal yang baru dalam tata politik Islam Syiah, meskipun secara praktis baru berhasil dilaksanakan oleh Ayahtullah Ruhullah Khomeini. Wilayatul faqih telah menjadi kajian oleh tokoh-tokoh syiah klasik seperti Syeikh Thusi, Sayid Murtadha, Bahrul ulum, Syeikh Mufid, Muhaqqiq al-Hilli, Muhaqqiq Karaki, dan lain-lainnya.
 Syeikh Mufid (Wafat 1022 M) yang merupakan salah seorang ulama besar syiah telah mengajukan gagasan bahwa pemimpin yang ditunjuk oleh Tuhan merupakan sosok yang diakui sebagai pemegang otoritas untuk menyuruh atau melarang melukai dan membunuh dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar. Menurut Mehdi Hadavi Tehrani (2005:42), pelaksanaan perintah itu dilakukan oleh para Imam-imam maksum yang terpilih, atau oleh para penguasa yang ditunjuk oleh imam maksum, atau oleh para fuqaha syiah yang telah ditunjuk oleh imam-imam maksum sebagai para pemimpin masyarakat Islam sekaligus pelaksana syariat Islam.
Penjelasan Syeikh Mufid bahwa para imam suci telah memberi kepercayaan pembuatan keputusan tentang pelaksanaan hukum-hukum Islam kepada para fakih syiah mereka, telah menegaskan tentang posisi fakih yang menggantikan posisi imam untuk mengimplementasikan hukum-hukum ilahi menjadi petunjuk jelas akan konsepsi wilayah al-faqih. Lebih jauh Syeikh Mufid dalam Mehdi Hadavi Tehran (2005:43), penerapan hukum-hukum Islam secara nyata mendukung seseorang (fakih) yang telah ditunjuk memegang kekuasaan atas tugas tersebut atau telah ditunjuk olehnya sebagai orang yang bertanggung jawab atas sejumlah utusan pokok yang dimilikinya. Maka, ia harus melaksanakan keputusan hukum Islam, menerapkan perintah-perintah hukum agama, ber-amar ma’ruf nahi munkar, serta berjihad.
Konsepsi wilayah al-faqih dari yang klasik hingga kontemporer dapat diuraikan sebagai berikut[2]: Muhaqqia al-Hilli (Wafat 1277), wilayah al-faqih “merupakan sebuah perintah bahwa bagian imam (hissat al-imam) dibagikan secara adil kepada mereka yang layak menerimanya oleh orang yang mempunyai otoritas disebabkan kedudukannya sebagai wakil imam (niyabah)”.
Zainuddin bin Ali Amili alias Syahid Tsani (wafat 1559 M) menerangkan, “orang yang memiliki otoritas karena pendelegasian dari imam adalah fakih adil syiah yang memenuhi seluruh persyaratan untuk mengeluarkan fatwa-fatwa. Sebab, orang seperti ini adalah wakil dan yang ditunjuk Imam Zaman”.
Muhaqqiq Karaki (wafat 1561) mengungkapkan, “fakih yang memenuhi syarat penuh (faqih jami’ al-syarait), yang disebut mujtahid adalah wakil atau deputi (naib) imam-imam maksum alaihi salam dalam semua urusan berdasarkan konsep perwakilan (niyabah). Jawad Bin Muhammad Husaini Amili (wafat 1811) menegaskan, “faqih ditunjuk Imam Zaman dan ini didukung argumen (akal), ijma’, riwayat-riwayat, dan hadits-hadits.” Lebih tegas lagi Mulla Ahmad Naraqi (w.1829), menyatakan bahwa fakih mempunyai wilayah (otoritas) atas dua permasalahan, yaitu fakih mempunyai wilayah seperti dimiliki nabi dan para imam maksum sebagai pemimpin atas masyarakat dan benteng pertahanan Islam; dan fakih mempunyai wilayah atas apa pun yang berhubungan dengan masalah spiritual dan keduniawian masyarakat yang perlu diselesaikan.
Syeikh Muhammad Hasan Najafi (w. 1849) menulis, “Saya percaya bahwa Allah telah menjadikan kepatuhan dan kesetiaan pada para fukaha ‘pemegang otoritas’ (ulil amri) sebagai kewajiban kita; bukti-bukti mengenai pemerintahan fakih, khususnya hadis dari imam Mahdi membenarkan hal ini.” Bahrul Ulum (w. 1908) membicarakan masalah wilayah al-faqih dengan mengajukan beragam dalil, diantaranya, “untuk memelihara masyarakat Islam, Imam harus mengangkat seorang pengganti atau wakil yang tak lain kecuali seorang fakih yang memenuhi persyaratan lengkap.” Ayatullah Burujerdi (w.1962), bahwa pemerintahan fakih dalam segala urusan merupakan aksioma. Ia menulis, “untuk menyimpulkan, berkenaan dengan apa yang dimengerti, tidak ada keberatan yang dapat dimunculkan untuk menolak kenyataan bahwa fakih adil diangkat untuk melihat masalah-masalah penting yang mempengaruhi masyarakat”.
Ayatullah Syeikh Murtadha Ha’iri menganggap bahwa perintah suci dari Imam Gaib sebagai salah satu bukti tentang wilayah al-faqih, “fakih adalah pemilik kewenangan yang ditunjuk (hujjah) imam. Menjadi hujjah yang diangkat imam, secara umum berarti fakih memiliki kekuasaan dan menjadi rujukan dalam hal apa saja yang menjadi perhatian imam”. Terakhir dari Imam Khomeini (wafat 1989) yang dianggap sebagai peletak sistematis wilayah al-faqih dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengimplementasikan hal tersebut.
Bagi Imam Khomeini, para fakih menerima wilayah absolut yang memegang semua tanggung jawab dan kakuasaan Imam Zaman (Imam Mahdi). Untuk itu Khomeini (2002:133-134), saya hanya membahasnya lebih panjang berkenaan dengan cabang-cabang pemerintahan yang berbeda, untuk memberikan penjelasan yang lebih banyak tentang masalah ini. Konsepsi imam khomeini sangat menegaskan bahwa para fukaha di mana mereka memiliki kewenangan (wilayah) dan bahwa fakih menerima semua kekuasaan dari Nabi SAW dan Imam ke-12 dalam aturan dan pemerintahan.
Berdasarkan uraikan sebelumnya, bahwa sebagaimana dalam Islam baik yang bermazhab Ahl al-Sunnah, maupun dalam pemikiran syiah, otoritas dan kedaulatan hanyalah hak preogatif Allah[3]. Baru kemudian Allah mendelegasikan haknya tersebut kepada Nabi Muhammad Saw[4]. Setelah berakhirnya nubuwwah[5], hak-hak tersebut beralih kepada ulu al-amri yang menurut kepercayaan Islam syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah para imam yang berjumlah dua belas orang. Imam mendapatkan haknya sebagai penerus Nabi Muhammad Saw, yang tidak berstatus Nabi, dan tidak pula membawa syariat, namun sebagai penjelas resmi syariat Nabi Muhammad Saw langsung dari Allah, lewat Nabi Saw.  Mereka disebut wali al-naìb.
Jadi, kesinambungan kepemimpinan sejak Nabi, Imam, hingga faqih adalah suatu keniscayaan keagamaaan. Yamani (2002:114-115), mengutip hadits yang bersumber dari Ja‘far al-Shadiq[6], bahwa Jafar al-Shadiq “menyangkal wewenang seorang mujtahid (faqih) berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang Imam berarti menentang wewenang Nabi Saw. Menentang wewenang Nabi Saw, berarti menentang wewenang Allah. Menentang wewenang Allah, sama dengan syirik”[7]. Kemudian Baqir Sadr menginterpretasikan isi Q.S. al-Maidah ayat 44, dengan menjelaskan karakterisasi yang menyentuh baik penafsiran konstitusional politis maupun suatu pemahaman berkarakter syiah. Menurutnya, ada tiga kategori dari ayat ini, yaitu nabiyyun, rabbaniyyun dan ahbar. Kelompok ahbar adalah ulama dari syariat, dan rabbaniyyun membentuk sebuah lapisan tengah antara kelompok nabi dan `alim, inilah level dari para Imam. Karena itu adalah mungkin untuk mengatakan bahwa garis dari syahadah (pernyataan kesaksian) dihadirkan oleh tiga mandataris yakni para Nabi (anbiya`), para Imam sebagai penerus para nabi sesuai kehendak Allah (rabbani), dan marja`iyyah, yang dipertimbangkan sebagai kesinambungan (rasyid) dari Nabi dan Imam dalam garis kelompok syahadah[8].
Gagasan-gagasan yang telah diuraikan sebelumnya mengantarkan kita pada penegasan sistem pemerintahan yang digunakan oleh Republik Islam Iran, yaitu sistem pemerintahan campuran dengan model wilayah al-faqih. Dalam sistem ini, “sebagai kepala negara adalah imam keduabelas yaitu turunan Rasulullah Muhammad SAW yang selama masih gaib diwakili oleh Faqih atau Dewan Faqih (Dewan Keimanan)”[9]. Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden. Ketua kabinet (dewan menteri-menteri) dipegang oleh perdana menteri (PM) yang dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden setelah mendapat persetujuan dari badan legislatif (Dewan Pertimbangan Nasional) Iran. Menteri-menteri (kabinet) bertanggung jawab kepada Dewan Pertimbangan Nasional.
B.     BENTUK NEGARA
Mengkaji pemerintahan Islam merupakan suatu kewajiban dalam agama. Pemerintahan Islam mengimplementasikan aturan Allah di muka bumi sekaligus sebagai sarana pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah Allah. Menurut Bagir Sadr (1987:1), kajian tentang pemerintahan Islam menggunakan rujukan tersendiri dalam bidang kebudayaan yang secara mendasar dapat membangkitkan semangat sosial yang sangat luar biasa. Dengan begitu, bentuk negara Republik Islam Iran berbentuk negara Republik Islam.
 Negara Republik Islam merupakan negara yang meliputi jagat raya dalam satu kesatuan yang utuh, di mana batas-batas yang disepakati bersama oleh masyarakat tidak mempengaruhi sistem politik yang monolitik. Meskipun begitu, Negara Republik Islam Iran tetap menghargai dan bergantung pada mekanisme yang memungkinkan dalam setiap masa. Maksudnya, dalam bentuk praktis operasionalnya, negara Republik Islam Iran dapat menyesuaikan dengan berbagai hal yang dianggap signifikan dalam perkembangan masyarakat serta tata politik dunia.
Konsep republik, sebagaimana di terapkan dalam Republik Islam Iran, telah di modifikasikan dengan konsep kepemimpinan wilayatul faqih, atau pemerintahan para ulama. Modifikasi ini menyentuh ketiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang biasa disebut trias politika. Hal ini dirasa perlu, mengingat pada sistem ini konsep kepemimpinan Islam - apakah itu namanya wilayah atau imamah - tidak cukup terwakili di dalammya.
Dalam hal persetujuannya dengan konsep demokrasi, di mana ditunjukan dengan istilah-istilah "republik", konstitusi, parlemen dan pemilu yang ada dalam system pemerintahan Republik Islam saat ini bukan terletak pada kesepakatannya secara substansial mengenai makna sebagaimana dipahami Barat. Menurut Khomeini sekalipun pemerintahan ini adalah pemerintahan rakyat, tetapi sumber hukum berasal dari Tuhan. Karena itu konstitusi maupun peraturan perundang-undangan haruslah mengacu kepada hukum-hukum Tuhan, yang tertera pada al-Qur'an dan Hadits serta Ijtihad ulama dalam hal ini faqih.
Negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional, namun pengertian konstitusional dengan negara hukum di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk pada "hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas", tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Islam, karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum Tuhan. Dengan kata lain Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif-disamping sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang sebenarnya, bukan legislatif.
Singkatnya di dalam pemerintahan Islam, jika kekuasaan eksekutif dan legislatif ada pada faqih atau fuqaha yang menjalankan fungsi selaku wakil para Imam, maka kekuasaan legislatif sepenuhnya berasal dari hukum Tuhan. Oleh sebab itu pemerintahan Islam juga disebut sebagai pemerintahan hukum Tuhan atas manusia. Tetapi, bukan berarti tidak diperlukan adanya parlemen. Parlemen diperlukan guna "menyusun program untuk berbagai kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri".
C.    SISTEM POLITIK
Menurut Miriam Budiardjo (2007:59), sistem politik pada umumnya terdapat empat variabel, yaitu kekuasaan, kepentingan, kebijaksanaan, dan budaya politik.
1.      Kekuasaan
Kekuasaan atau pengaruh yang dilakoni oleh pemimpin di Negara Republik Islam Iran dapat ditinjau pada empat fungsi kepemimpinan, yaitu: fungsi legislatif, fungsi yudikatif, fungsi eksekutif, dan fungsi edukatif.  Fungsi legislatif yakni menemukan dan menerangkan syariat (hukum) yang datang dari sisi Allah dan menjadi sumber rujukan hukum. Fungsi yudikatif yakni memutuskan dan menyelesaikan berbagai perselisihan yang terjadi. Hal ini karena disatu sisi manusia merupakan makhluk sosial, namun di sisi lain hubungan sosial itu tidak selamanya harmonis[10]. Untuk itu diperlukan orang yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Fungsi eksekutif yakni memimpin dan mengatur masyarakat atau membentuk pemerintahan. Dalam suatu komunitas, agar hubungan diantara sesamanya harmonis maka diperlukan adanya pemimpin yang menegakkan hukum-hukum. Fungsi edukatif yakni menjadi pembimbing dan pendidik umat untuk mensucikan mereka menuju kesempurnaan kemanusiaan yang sesuai dengan aturan ilahiah.
 Meskipun begitu, secara praktis pemimpin dapat mendelegasikan wewenangnya tersebut kepada orang lain dengan tetap dibawah kendalinya, atau yang memenuhi syarat yang ditetapkannya. Dari empat fungsi utama tersebut, para faqih membutuhkan kompetensi yang tinggi dan teruji baik dari sisi kompetensi intelektual maupun kompetensi keribadian dan keterampilan memimpin.
Gambaran fungsi, tanggung jawab, dan kekuasaan faqih yang diuraikan di atas setidaknya memberikan suatu garis demarkasi akan keabsolutan wewenang faqih yang nyaris tak terbatas. Dalam prinsip pemerintahan oleh faqih (wilayatul faqih) dan keutamaan hukum Islam di abadikan dalam konstitusi Iran. Pada saat yang sama konstitusi republik Islam mempunyai pranata-pranata demokrasi konstitusi melengkapi sistem pemerintahan parlementer dengan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada pasal 56 UUD RII, mengenai kedaulatan nasional dan kekuasaan yang berasal dari padanya, telah jelas disebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan Allah Yang Maha Kuasa, yang kekuasaannya atas umat manusia dan di dunia ini adalah mutlak. Adapun tiga kekuasaan dalam Republik Islam Iran adalah kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif, yang dilaksanakan di bawah pengawasan wilayatul al-amr yang mutlak dan kepemimpinan umat sesuai dengan pasal-pasal yang menyusul dalam Undang Undang Dasar RII. Dalam pelaksanaannya ketiga lembaga ini independen satu sama lainnya, dan presiden adalah penghubung diantara ketiganya.
Kekuasaan legislatif melaksanakan prosedurnya melalui Majelis Syura Islami yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang terpilih. Perundang-undangan yang disahkan oleh majelis diteruskan kepada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif untuk penerapannya, setelah menyelesaikan berbagai tahap. Masalah-masalah penting mengenai masa depan negara, persetujuan undang-undang itu dapat diperoleh dengan rujukan langsung kepada suara rakyat. Permintaan untuk melakuksn referendum harus disetujui oleh dua pertiga dari seluruh jumlah anggota Majelis.
 Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh presiden dan para menteri, kecuali dalam hal-hal dimana pemimpin secara langsung bertanggungjawab menurut Undang-undang. Kekuasaan yudikatif dilaksanakan melalui pengadilan, yang harus didirikan di atas dasar presep-presep Islam dan yang akan menyelesaikan persengketaan, melindungi hak-hak umum dan perluasan wilayah, administrasi keadilan, serta pelaksanaan perintah-perintah Ilahi.
Ketiga lembaga negara tersebut di atas, mempunyai kedudukan dan fungsinya masing-masing. Dalam perkembangannya terjadi beberapa perubahan dalam draft ataupun batang tubuh konstitusi Iran, di bawah ini dijelaskan kedudukan ketiga lembaga tersebut pada waktu sebelum dan sesudah amandemen tahun 1989.
2.      Kepentingan Ideologi
Ideologi Negara Republik Islam Iran berdasarkan Agama Islam Madzhab Syiah Imam 12 (Ja’fari). Bentuk pelaksanakan prinsip ini dengan menciptakan sistem Velayat-e Faqih (supremasi kaum ulama) di mana seorang pemimpin agama memiliki hak untuk memberikan fatwa keagamaan dan sekaligus memegang kekuasaan tertinggi dalam masalah ketatanegaraan.
Marja-e Taqlid (ulama senior) memiliki wewenang untuk memberikan fatwa hukum kepada massa penganut ajarannya yang tersebar di berbagai wilayah. Agama resmi negara adalah Islam beraliran Ja’fari (Shiah Imam ke 12). Aliran Islam lainnya yang bermadzhab Syafii, Hambali, Hanafi dan Maliki serta Syiah Zaidiyah diakui dan pelaksanaan syariat-syariatnya dilindungi oleh Undang-Undang.
3.      Budaya Politik
Iran merupakan salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang tidak luput dari pengaruh revolusi Barat tersebut, hal ini nampak dari konstalasi politik di Iran yang telah mengalami pergolakan yang berlangsung lama, semakin menegang terutama ketika konsep negara bangsa (nation state) mulai diterapkan di Iran. Pertarungan antara ulama dan negara yang berlangsung 200 tahun terakhir menjadi potret utama masyarakat Iran yang memberikan warna tersendiri dalam perpolitikan di Iran.
Dalam sejarah Iran modern, perjuangan melawan kolonialisme dan pembentukan negara bangsa dimulai pada masa dinasti Pahlevi, namun benih-benih gagasan negara bangsa tersebut sudah ada sejak dinasti Qajar. DR. Zayar dalam bukunya Iranian Revolution; Past, Present and Future. Secara garis besar Iran modern bisa dibagi menjadi tiga ­periode. Pada periode pertama yang dimulai pada abad ke-18, di bawah kekuasaan dinasti Qajar. Periode ini mencapai titik kulminasi pada revolusi konstitusional pada tahun 1906 (di bawah pengaruh revolusi Rusia tahun 1905).
Periode kedua (1908-1953) ditandai dengan banyaknya konflik ini mencapai klimaks pada masa pem­berontakan sosial (1941-1953) yang diikuti dengan pengunduran diri Shah Reza (1926-1941). Periode ketiga (1953­-1979) ditandai dengan tumbuhnya partisipasi Iran sebagai negara yang berdaulat, dengan kontrol yang kuat atas sumber daya minyak bumi, peningkatan pendapatan yang tinggi dari minyak dan pertumbuhan ekonomi yang sangat mengesankan.
D.    INSTITUSI POLITIK
Dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, kekuasaan institusi politik, baik eksekutif dan legislatif maupun yudikatif, pada prinsipnya tidak berubah. Mereka memiliki kekuasaan yang mandiri pada fungsi dan kedudukan masing-masing lembaga tersebut, hanya saja dalam hierarki struktur politiknya, posisi ketiga lembaga ini berada di bawah wilayatul faqih. Inilah yang kemudian membedakan pelaksanaan konsep wilayatul faqih ini dengan konsep demokrasi pada umumnya.
1.      Konstitusi
Aturan tertinggi atau konstitusi Republik Islam Iran dinamakan Qanun-e Asasi (Undang-undang Dasar). Qanun-e Asasi merupakan hukum tertinggi Republik Islam Iran yang disahkan pertama kali oleh Majelis Ahli tanggal 15 November 1979 dan diamandemen pada Juli 1989. Dalam buku Hukumat-i Islami, Imam Khomeini berpendapat bahwa Islam bukan sekedar agama etika (ethical religion) tetapi di dalam Islam terkandung seluruh hukum dan prinsip-prinsip yang diperlukan bagi pemerintahan dan administrasi sosial. Karena itu, pemerintaan Islam yang benar adalah sebuah pemerintahan konstitusional dengan Qur’an dan Hadis sebagai konstitusinya. Kendati tidak ada aturan khusus di dalam Qur’an dan Hadits bagi ditegakannya suatu pemerintahan selama kegaiban al-Mahdi, tatanan sosial diperlukan bagi pelaksanaan syariat.
Pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang kepada hukum Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya pembuat undang-undang. Jadi sebagai ganti badan pembuat undang-undang dibentuklah sebuak Dewan Perencanaan untuk mengawasi hasil kerja berbagai departemen. Tapi kepala pemerintahan, pemimpin tertinggi haruslah seorang faqih, seorang ahli dalam hukum Tuhan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.
Berdasarkan Asas-Asas Umum Konstitusi Republik Islam Iran, bentuk Pemerintahan Iran adalah Republik Islam, yang telah disepakati oleh rakyat Iran, berdasarkan keyakinannya yang abadi atas pemerintahan Al-Qur’an yang benar dan adil, menyusul revolusi Islam yang jaya yang dipimpin oleh Ayatullah al-’Uzma Imam Khomeini, yang dikukuhkan oleh referendum nasional yang dilakukan tanggal 29 dab 30 Maret 1979 bertepatan dengan 1 dan 2 Djumadil Awal tahun 1399 H.
Republik Islam Iran menerapkan suatu sistem yang berasaskan hal-hal sebagai berikut;
1.      Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (seperti yang terpantul dari kaimat ‘Laailaaha illallāh’). Kemahakuasaan-Nya dan Syari’at-Nya hanyalah milik-Nya semata-mata dan kewajiban mentaati perintah-Nya.
2.      Wahyu Ilahi dan peranannya yang mendasar dalam mengekspresikan dan menetapkan hukum perundang-undangan.
3.      Qiyamah (kebangkitan di akhirat) dan peranan konstruktifnya dalam evolusi menuju Tuhan yang berarti kembali kepada Allah di alam Baka’
4.      Keadilan Allah dalam Penciptaan dan Syari’ah
5.      Imamah dan Kepemimpinan positifnya serta peranannya yang terus menerus dalam kelanjutan Revolusi Islam.
6.      Keagungan martabat dan nilai- nilai luhur kemanusiaan yang ada pada manusia dan kehendak bebas bersama tanggung jawab yang berkaitan dengan itu dihadapan Tuhan, yang mempersiapkan tegaknya keadilan, kemerdekaan politik, ekonomi, sosial dan kultural, serta kesatuan nasional, melalui hal-hal sebagai berikut: Praktek ijtihad yang berlanjut dari fuqaha yang memenuhi syarat berdasarkan Al-Qur’an, Hadits Nabi dan para Imam; Memanfaatkan pengetahuan dan teknologi serta pengalaman-pengalaman insani yang telah maju serta usaha-usaha yang dilakukan ke arah pengembangannya untuk terus memajukannya; dan Menghapus segala macam penindasan serta penyerahan kepada penindasan, menghapus tirani dalam penerapan maupun penerimaannya.
2.      Lembaga Eksekutif
Dalam Undang Undang Dasar Republik Islam Iran, kekuasaan Eksekutif terdiri dari tiga unsur, yaitu; Presiden, Menteri (pembantu Presiden) dan Korps Pengawal Revolusi. (Garda Revolusi) Menurut pasal 113, UUD Republik Islam Iran (RII), Presiden merupakan jabatan negara tertinggi sesudah jabatan rahbar (pemimpin). Dalam pelaksanaan jabatannya presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun secara langsung melalui pemilihan umum dan bertanggung jawab terhadap penerapan Undang Undang Dasar, dan memimpin lembaga eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab pemimpin.
Presiden sebagai kepala pemerintahan dijabat oleh seorang Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 4 tahun, kemudian pemilihan kembali hanya diperbolehkan satu kali. Presiden dibantu oleh wakil-wakil presiden yang membidangi tugas masing-masing. Presiden juga dibantu oleh menteri-menteri anggota kabinet. Sistem pemerintahan Iran menganut sistem campuran presidensiil dan parlementer, di mana anggota kabinet diangkat oleh Presiden, tetapi harus mendapat persetujuan dari Majelis serta bertanggungjawab kepada Presiden dan Majelis.
 Setiap Presiden dipilih melalui pemilihan umum dan akan memerintah Iran selama empat tahun. Setiap calon presiden mesti mendapat persetujuan dari Majelis Wali Iran sebelum pemilu dilaksanakan agar mereka “serasi” dengan gagasan negara Islam. Tanggung jawab presiden adalah memastikan konstitusi negara diikuti dan juga mempraktikkan kekuasaan eksekutif. Tetapi presiden tidak berkuasa atas perkara-perkara yang di bawah kekuasaan Pemimpin Agung.
Presiden melantik dan mengepalai Kabinet Iran, dan berkuasa membuat keputusan mengenai administrasi negara. Terdapat delapan wakil presiden dan dua puluh satu menteri yang ikut serta membantu presiden dalam administrasi, dan mereka semua mesti mendapat persetujuan badan perundangan. Tidak seperti negara-negara lain, cabang eksekutif tidak memiliki kekuasaan dalam pasukan bersenjata, tetapi presiden Iran berkuasa melantik Menteri Pertahanan dan Intelijen dan harus mendapat persetujuan Pemimpin Agung dan badan perundangan.
Secara administratif, Republik Islam Iran terbagi ke dalam 30 provinsi dan 114 kabupaten. Setiap Propinsi dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal, sedangkan untuk tingkat kabupaten/kotamadya dipimpin oleh Gubernur. Sejak terbentuknya Islamic Council tingkat daerah (legislatif tingkat daerah).
3.      Lembaga Legislatif
Republik Islam Iran, dalam konstitusi tahun 1979, kekuasaan Legislatif ditangani oleh tiga lembaga, yaitu, Majles-e-shura-e-Islami (Majelis Konsultatif Islami, selanjutnya disebut Majelis), Shura-e-Nigahban (Dewan Perwalian) dan Majles-e Khubragan (Majelis Ahli). Sudah barang tentu, ketiga lembaga tersebut menjalankan fungsi legislatif yang berbeda satu-sama lain. Pertama, Majles-e-shura-e-Islami, yaitu majelis yang berfungsi sebagai parlemen, yang dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Pasal 6 UUD Republik Islam Iran menyebutkan: dalam Republik Islam Iran, utusan-utusan negara dijalankan melalui pemilihan Presiden, anggota-anggota Majelis, dan seterusnya.
 Kedua, Shura-e- Nigahban dan Majelis-e Khubregan. Berbeda dengan Majelis Shura-e Islami, Dewan Perwalian, dan Mejelis Ahli mempunyai fungsi legislatif yang terbatas, tetapi pada hakikatnya cukup menentukan. Pasal 93 Konstitusi 1979, misalnya disebutkan bahwa tanpa Dewan Perwalian, Majelis tidak mempunyai kekuatan hukum. Dewan Perwalian, sebagaimana tercantum dalam pasal 91, mempunyai tugas utama untuk menjamin agar keputusan-keputusan Majelis tidak mengabaikan ajaran Islam dan prinsip-prinsip konstitusi.
Dewan Perwalian beranggotakan 12 Orang yang terdiri dari enam orang fuqaha (mengenal kebajikan dan kebutuhan-kebutuhan zaman) yang angkat oleh Imam atau Dewan Keimanan, dan enam orang ahli hukum (yang mahir dalam cabang ilmu hukum di antara para ahli hukum Muslimin) yang diperkenalkan kepada Majelis dan Dewan Kehakiman Tertinggi (Syura-ye A’li-ye Qazaii). Keenam ahli hukum tersebut diangkat oleh Majelis.
Majlis-e Khubregan baru dibentuk pada Agustus 1979. keberadaan Majelis Ahli berlandaskan pada pasal 107. Meskipun Pasal 107 tidak secara eksplisit menyebutkan adanya Majelis Ahli, namun secara implicit membenarkan pembentukan lembaga ini. Pasal 107 antara lain menyebutkan bahwa para ahli yang dipilih oleh rakyat akan bermusyawarah tentang kompetensi semua calon pemimpin (Imam)”. Jadi cukup jelas, lembaga ini mempunyai tugas utama memilih dan atau memberhentikan seorang pemimpin (Imam). Majelis Ahli beranggotakan 73 ulama senior yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
4.      Lembaga Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif pada prinsipnya merupakan kekuasaan yang berfungsi untuk mengadili pelanggaran terhadap Undang Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan lainnya dalam sistem ketatanegaraan, dalam hal ini khususnya pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga eksekutif. Lembaga Yudikatif pada Konstitusi Republik Islam Iran 1979 mempunyai kedudukan sajajar dengan kedua lembaga lainnya, baik dengan eksekutif maupuan dengan legislatif.
 Pada dasarnya lembaga ini diisi oleh setidaknya dua badan dalam kekuasaan kehakiman, seperti Dewan Tinggi Kehakiman dan pengadilan-pengadilan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Kekuasaan yudikatif membawahi dua lembaga lainnya yaitu, pengadilan administrasi dan Inspektorat Jenderal Negara.
Kekuasaan tertinggi lembaga peradilan dijabat oleh Ketua Justisi yang diangkat langsung oleh leader. Ia haruslah seorang Ulama Ahli Fiqih (Mujtahid). Fungsi utamanya adalah mengangkat dan memberhentikan ketua dan anggota Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta menyusun RUU. Ia juga mengusulkan calon Menteri Kehakiman kepada Presiden. Bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kegiatan lembaga-lembaga Judikatif, sementara Kementerian Kehakiman mengatur koordinasi antara lembaga Judikatif dengan lembaga-lembaga Eksekutif dan Legislatif serta bertugas di bidang organisasi pemerintahan dan anggaran.
Sistem peradilan Iran mempunyai dua bentuk yakni peradilan umum dan khusus. Peradilan umum meliputi Pengadilan Tinggi Pidana, Pengadilan Rendah Pidana, Pengadilan Tinggi Perdata, Pengadilan Rendah Perdata dan Pengadilan Perdata khusus. Sedangkan Pengadilan khusus terdiri dari Pengadilan Revolusi Islam, Pengadilan Khusus Ulama dan Pengadilan Pers.
Sesuai dengan Konstitusi terdapat pula beberapa institusi lainnya yang berada di bawah lembaga Judikatif seperti Peradilan Militer yang merupakan bagian dari Lembaga Peradilan yang menangani kasus-kasus pidana yang melibatkan anggota Angkatan Bersenjata, Polisi dan Pasdaran; Peradilan Tinggi Administrasi yang menangani kasus-kasus yang terkait dengan administrasi pemerintah; dan Kepala Inspektur Negara yang bertugas mengawasi kinerja kementerian-kementerian.
E.     SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU
1.      Partai Politik dan Sistem Kepartaian
Konstitusi Republik Islam Iran memberikan kebebasan adanya partai-partai politik. Kebebasan itu pernah dihapuskan pada masa Imam Khomeini pada 1989 dengan alasan menyebabkan perpecahan di kalangan keluarga besar Revolusi. Republik Islam Iran menggunakan sistem kepartaian multipartai. Partai politik dan kelompok kepentingan terbagi ke dalam koalisi partai politik sayap kanan (garis keras), sayap kiri (konservatif/reformis) dan independen. Adapun kelompok kepentingan ini yang dikenal secara umum, yakni:
a.       The Coalition of Harmonious Group yang dimotori oleh Jame-e Ruhaniat-e Mubarez (the Society of Combatant Clergy), sebuah kelompok mullah garis keras (right wing) didirikan pada 1979.
b.      The Coordinating Council of the May 23 Front (tanggal kemenangan Khatami pada Pemilu Presiden 23 Mei 1997) yang dimotori oleh Majma Ruhaniyun-e Mobarez (the Assembly of Combatant Clerics), sebuah kelompok mullah konservatif (left wing) yang didirikan pada 1988.
c.       Independence Group yang tidak mempunyai persamaan pandangan terhadap dua kelompok di atas yakni the Moderation & Development Front (MDF), Green Party (GP) dan perorangan.
d.      Selain kelompok-kelompok di atas, terdapat pula kelompok yang dikenal sebagai Ansar-e Hizbullah yang merupakan pembela setia Republik Islam. Sebaliknya, kelompok oposisi bersenjata yang pernah ada, seperti Mojahedin-e Khalq Organization (MKO), People's Fedayeen, dan Democratic Party of Iranian Kurdistan, kini sudah sangat lemah dan tidak lagi mempunyai kemampuan untuk “mengganggu” pemerintah.
2.      Sistem Pemilihan Umum
Setelah terbentuknya pemerintahan Islam, sistem baru negara ini menerapkan sistem pemilihan umum proporsional untuk sejumlah institusi politik. Berdasarkan sistem pemilihannya, terdapat empat pemilihan umum di negeri ini.
Keempat pemilihan umum tersebut adalah pemilu Dewan Ahli Kepemimpinan (Majles-e Khebregan-e Rahbari), Legislatif (Majles-e Shura-e Islami), Presiden dan Dewan Kota. Dewan Ahli Kepemimpinan berfungsi untuk memilih Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, yang juga diistilahkan dengan Wali Faqih dengan sistem perwakilan. Selain itu, para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan yang dipilih secara langsung, umum, bebas dan rahasia oleh rakyat dengan sistem proporsional, juga mengawasi kinerja Wali Faqih. Sementara Dewan Kota berfungsi memilih Walikota dan mengawasi kinerjanya. Dengan demikian, Iran merupakan negara yang sangat demokratis.
3.      Kelompok Penekan (Civil Society)
Civil society di Negara Republik Islam Iran dengan wujud program kebudayaan merupakan salah satu elemen penting. Melalui Revolusi Islam Iran menawarkan sebuah janji. Otoriterisme politik dan korupsi sosial yang dijalankan kerajaan Pahlevi akan dihancurkan dan diganti dengan Republik Islam yang merdeka, yang akan mewujudkan suatu masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan sosial. Revolusi menjanjikan kebebasan dari kelaliman pemerintahan otokrasi Syah, yang dilambangkan oleh SAVAK dan penjara Evin di Teheran.
Pemerintahan Syah telah dikecam oleh para kritikusnya karena tindakan penindasan dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia, sensor ketat, pelarangan partai-partai politik, penangkapan, penahanan, penyiksaan, eksekusi dan pembunuhan terhadap para anggota oposisi serta terciptanya suatu masyarakat yang di dalamnya nasib pribadi dan karier profesional individu bergantung pada belas kasih raja. Para kritikus itu menuntut partisipasi politik, kebebasan asasi untuk berbicara, bermusyawarah, berserikat, dan pers yang bebas.
Kebebasan berserikat dan berkumpul diatur dalam UUD RII Bab III Pasal 26 dan 27, menyatakan: “Partai, perserikatan, kelompok politik dan serikat buruh serta masyarakat minoritas Islam dan yang diakui akan bebas, dengan syarat mereka tidak melanggar asas-asas kemerdekaan, kebebasan, persatuan nasional, dan prinsip Islam serta dasar Republik Islam. Tidak seorang pun akan dilarang atau dipaksa untuk mengikuti mereka.”
Jaminan konstitusional ini memberi dampak positif bagi perkembangan civil society dan organisasi politik di Iran. Menurut Riza Sihbudi (1996:90-101) mencatat, secara garis besar, organisasi-organisasi politik di Iran pasca-revolusi dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu:
1.      Kelompok Islam, terdiri dari dua partai besar: Partai Republik Islam (Hezb-e Jomhori-e Islami) dan Partai Republik Rakyat Muslim (Hezb-e Jomhori-e Khalq-e Mosalman).
2.      Kelompok nasionalis. Dalam kelompok ini sekurang-kurangnya ada empat organisasi politik, yaitu Front Nasional (Jebhe-e Melli); Gerakan Pembebasan Iran (Nehzat-e Azadi-e Iran atau the Liberation Movement of Iran); Front Demokrasi Nasional (Jebhe-e Democratic e-Melli); dan sebut saja “kelompok Bani Sadr”.
3.      Kelompok kiri/Marxis. Dalam kelompok ini sekurang-kurangnya ada tiga organisasi yang cukup dikenal, yaitu Partai “Massa” (Hezb-e Tudeh), Organisasi Pejuang Rakyat Iran (Sazeman-e Mojahedin-e Khalq-e Iran, dan Organisasi Gerilya Pejuang Rakyat Iran (Sazeman-e Cherkiha-ye Fedayen-e Khalq-e Iran).
4.      Kelompok royalis. Dalam kelompok royalis (monarkis) terdapat nama-nama keluarga mendiang (bekas Syah) Reza Pahlevi seperti Farah Pahlevi, Putri Azadeh, putri Ashraf (saudara bekas Syah), dan Reza Pahlevi II (bekas putra mahkota) dan lain-lain.




DAFTAR PUSTAKA
Ali Mishkini, 1999. Wali faqih, Jakarta: Risalah Masa.
Chibli Mallat, 2001. Menyegarkan Islam, Bandung: Mizan.
Inue Kencana Syafiie, 2008. Perbandingan Pemerintahan, Bandung: Refika Aditama.
Jawadi Amuli, 2003. Sistem Pengadilan Islam dalam al-Quran, Jurnal al-Huda, Vol.III, No. 9, hal. 5-9
Khomeini, 2002. Sistem Pemerintahan Islam, Jakarta: Pustaka Zahra.
Mehdi Hadavi Tehrani, 2005. Negara Ilahiah, Jakarta: Al-Huda.
Miriam Budiardjo, 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Ketiga Puluh, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Riza Sihbudi, 1996. Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sayid Muhammad Baqir Sadr, 1987. Introduction to Islamic Political System, London: Islamic Seminary Publication.
Yamani, 2002. Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan.
Departemen Agama RI. Al-Quran, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama



[1] Ali Mishkini. 1999. Wali faqih. Jakarta: Risalah Masa, hal. 24.
[2] Penjelasan konsep wilayatul faqih dari tokoh klasik hingga kontemporer ini disadur dari Mehdi Hadavi Tehrani. 2005. Negara Ilahiah. Jakarta: Al-Huda, hal 46-54
[3] Q.S. Al-A‘raf:54; dan Q.S. Ali ‘Imran: 154; Yusuf: 40.
[4] Q. S. An-Nisa‘: 80; dan Q.S. Al-Ahzab: 36
[5] Nubuwwah yaitu penamaan masa kepemimpinan pemerintahan yang dipimpin oleh Nabi dalam pemerintahan Islam.
[6] Imam Jafar Al shadiq menurut pahaman kaum syiah adalah merupakan Imam keenam.
[7] Yamani. 2002. Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, hal. 114-115.
[8] Chibli Mallat. 2001. Menyegarkan Islam. Bandung: Mizan, hal. 99-100.
[9] Inue Kencana Syafiie. 2008. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama, hal. 54
[10] Lihat penjelasannya dalam Jawadi Amuli. 2003. Sistem Pengadilan Islam dalam al-Quran. Jurnal al-Huda, Vol.III, No. 9, hal. 5-9